poopoet

Hanya sekumpulan kalimat yang menurutku menarik..!!!

Tag Archives: TUHAN

MENGAMPUNI TUHAN

Dalam perjalanan hidup kita, saya yakin kita semua pernah mengalami kekecewaan yang sangat mendalam. Kita merasakan ketidakadilan, kehilangan, frustasi dan kemarahan yang sungguh-sungguh. Dan kita kemudian marah kepada Tuhan. Atau paling tidak, menyalahkan Tuhan. Atau mungkin mencurigai Tuhan. Atau bisa juga hanya sekedar mengeluh. Tapi yang jelas, kita semua bertanya pada Tuhan: Mengapa Ia biarkan semua itu terjadi? Mengapa saya diperlakukan tidak adil? Mengapa saya harus kehilangan orang yang begitu saya cintai? Mengapa kerja keras saya berakhir dengan kesia-siaan?

Menyalahkan Tuhan mungkin adalah suatu kesalahan. Mungkin? Ya. Karena kita tidak tahu apakah Ia berada di balik kejadian yang mengecewakan itu. Kalau benar, maka adalah manusiawi kalau kita marah pada Tuhan. Sebagian besar orang mungkin tidak bisa menerima hal ini. Kita tidak bisa memarahi Tuhan sekalipun Ia berada di balik kejadian-kejadian yang menghancurkan hati kita.

Tuhan tidak pernah salah. Ia memiliki rencana yang indah dibalik peristiwa-peristiwa yang membawa duka. Kitalah yang harus belajar memahami rencana Tuhan dalam hidup kita. Saya setuju sekali. Tapi tidak ada gunanya juga berpura-pura ‘menerima’ Tuhan namun sebenarnya hati kita memberontak. Toh Dia tahu yang paling dalam dari lubuk hati kita. Menahan kemarahan pada Tuhan dengan mengalihkannya pada diri sendiri hanya akan menambah satu kebohongan dalam diri kita.

Sebagai orang yang percaya bahwa Tuhan ‘masih hidup’ dan bekerja di tengah kehidupan manusia, kemarahan kepada-Nya merupakan suatu bukti bahwa kita benar-benar konsisten dengan keyakinan itu. Kita tidak akan marah pada anak kita bila kita terjebak kemacetan di jalan. Kita tidak akan marah pada orang asing yang lewat di depan rumah kita bila di rumah kita tidak ada makanan. Kita tidak akan marah pada tetangga kita bila tukang yang seharusnya membereskan atap rumah kita ternyata belum juga menyelesaikan pekerjaannya. Dalam semua itu, kita tidak marah karena kita tahu ketidakberesan itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan mereka.

Sebaliknya, kita marah pada pemerintah daerah yang tidak bekerja maksimal dalam menata kota. Kita marah pada pembantu di rumah karena melalaikan tugasnya memasak. Kita marah pada tukang yang kita sewa.

Ini paling tidak menunjukkan tiga hal. Pertama, kita yakin mereka orang yang bertanggungjawab akan hal itu. Kedua, kita tahu mereka mampu melakukannya. Dan ketiga, kita menaruh harapan pada mereka.

Kemarahan kita pada Tuhan juga merupakan bentuk dari keyakinan kita bahwa Ia bertanggungjawab, Ia mampu, dan Ia baik. Ia ada dan bekerja di tengah kehidupan kita. Bukankah itu keyakinan yang benar?

Kalau begitu, mengapa Ia yang maha segalanya itu mengecewakan kita? Wah, itu saya tidak tahu. Tanyakan pada Tuhan. Tapi saya mau anjurkan sesuatu pada kita semua. Mari kita mengampuni Tuhan karena Ia mengecewakan kita sebagaimana Tuhan mengampuni kita karena kita mengecewakan-Nya. Mari kita mengampuni Tuhan karena Ia tidak melakukan apa yang kita minta Ia lakukan sebagaimana Tuhan juga mengampuni kita karena kita tidak melakukan apa yang Ia minta kita lakukan. Padahal Dia adalah pemilik jiwa kita. Padahal kita adalah ciptaan-Nya.

SIAPA TUHANKU?

Siapa Tuhanku?

Tanyakan kepada Tuhan karena Ia Maha Mengetahui. Jika aku katakan bahwa Ia yang aku puja, aku sembah, tetapi Ia tidak menerima pujaan dan persembahanku, maka pengakuanku tidak berarti sama sekali.
Biar Ia yang menentukan siapa Tuhanku dan siapa yang aku sembah dan aku puja.
Ya Allah, angkatlah tirai yang memisahkan diriku dari diri-Mu, sehingga aku tidak memiliki keberadaan di luar Keberadaan-Mu.

DOA YAHYA BIN MA’ADH RAZI

Ya Allah, aku tidak membutuhkan pahala dari perbuatanku, berikan pahala kepada mereka yang menginginkannya. Berikan kenikmatan duniawi kepada mereka yang masih mengejarnya.
Yang kuinginkan hanya satu saja..
Jangan sampai aku melupakan Nama-Mu, sehingga pada saat ajal tiba, yang teringat olehku hanyalah Engkau!

GURITA

Tangga menuju langit adalah kepalamu, maka letakkan kakimu di atas kepalamu…
Untuk mencapai Tuhan injak-injaklah pikiran dan kesombongan rasionalmu.
Ternyata, Gurita sudah lama melakoninya…

MANUSIA SALAH, TUHAN MENGAMPUNI

Apa yang mustahil tak dimiliki manusia? Mungkin rasa bersalah.
Tak pernah ada orang yang hidup tanpa najis dan dosa. Itulah sebabnya Tuhan menyediakan diri untuk didatangi manusia seperti kita yang penuh kesalahan untuk memohon ampunan.
Tuhan sudah tahu, karena memang Dia Maha Tahu. Dia juga Maha Pengampun, jadi untuk apa Tuhan memiliki sifat itu kalau tak ada yang bersalah? Rasanya, sudah tugas manusia untuk bersalah dan berdosa. Agar kita punya kesempatan memohon ampun dan Tuhan memaafkan.
Sebenarnya, setiap kali kita bersalah dan berdosa, sebenarnya kita sedang belajar untuk menjadi lebih baik. Seperti setiap kita jatuh, kita sebenarnya sedang belajar menuju tempat yang lebih tinggi.

GAGAL MENGERTI

Ada apa ini?
Semua yang saya saksikan membuat saya gagal mengerti.
Mengapa belakangan banyak orang merasa sedang mewakili seluruh Bangsa Indonesia?
Mengapa belakangan banyak orang merasa sedang mewakili “umat”?
Mengapa banyak orang merasa layak mewakili Tuhan?
Mengapa banyak orang menjadi begitu bengis dan pemarah untuk membela kebenaran dan keyakinan yang sesungguhnya domain masing-masing individu?
Apa yang sesungguhnya sedang mengancam mereka?
Saya selalu gagal mengerti.

TUHAN & RESTORAN CEPAT SAJI

Jangan terlalu banyak minta sama Tuhan,
Tuhan bukan restoran cepat saji yang bisa dipesan-pesan.
Memang sudah waktunya hujan,
Mau apa lagi..?

TUHAN TERPENJARA

Memang berbicara tentang Tuhan adalah hal yang sangat sensitif. Kadang karena sensitifitas yang berlebihan sehingga obyektifitas dan rasionalitas dalam menilai sesuatu berkurang bahkan hilang. Akibatnya adalah kesimpulan yang ditarik akan bersifat a-priori, kurang rasional dan cenderung bias. Oleh karena itu untuk membahas lebih lanjut, kita harus melepaskan sikap arogan dan subyektifitas kita.

Tulisan ini berangkat dari perenungan setelah membaca fenomena yang terjadi. Jadi walau tidak bisa terlepas dari subyektifitas penilaian, tapi setidaknya penulis berusaha obyektif melihat realitas obyektif yang terjadi.

Kata “terpenjara” bermakna ada pihak yang memenjarakan dan ada yang merasakan keterpenjaraan. Dari judul diatas, pihak yang terpenjara adalah Tuhan. Disini muncul pertanyaan. Bisakah yang maha kuasa terpenjara ? atau mengapa Ia terpenjara ? atau bagaimana Ia terpenjara ? atau benarkah Ia terpenjara ? kapan Ia terpenjara ?Sekiranya memang demikian adanya maka muncul lagi pertanyaan, siapa yang memenjarakannya ?

Jika kita menggunakan pendekatan kesejarahan, dapat dilihat bahwa agama sebagai kumpulan ajaran yang berbicara tentang Tuhan ternyata lahir dikalangan orang-orang tertindas. Misalnya Musa yang mengajarkan tentang Tuhan dikalangan Bani Israil. Musa mengajarkan kepada manusia (termasuk kita) tentang penolakan penghambaan selain Tuhan dan menjadikan Tuhan sebagai tujuan. Keberpihakan Tuhan begitu jelas, pada orang-orang yang menyerukan kebersamaan dan penolakan terhadap penghambaan sesama makhluk.

Pun Ibrahim a.s demikian, menyerukan kepada penuhanan Tuhan yang sesungguhnya. Isa a.s bersama orang-orang sakit, miskin, tertindas dan sama dengan pendahulunya, menyerukan penghambaan pada Tuhan. Muhammad pun demikian. Beliau menyerukan kepada Bilal (simbol egaliterian manusia) untuk azan diatas kabah (simbol kejayaan arab dan Islam). Beliau mengajarkan masyarakat tanpa kelas jauh sebelum Marx lahir. Beliau menentang praktek eksploitasi ekonomi berupa riba jauh sebelum Marx menemukan teori nilai lebih. Atas nama Tuhan mereka meneriakkan kebenaran. Atas nama Tuhan mereka mengajarkan kesejajaran manusia. Atas nama Tuhan mereka mengajak pada penyerahan diri pada Tuhan.

Jika kita menggunakan pendekatan keagamaan, ternyata dari berbagai kitab suci selalu diajarkan untuk menghormati sesama manusia, alam dan mengajak pada penghambaan pada Tuhan. Dalam salah satu surah, Tuhan bertanya : Tahukah engkau orang yang mendustakan agama ?. pertanyaan ini dijawab oleh ayat berikutnya : yaitu orang yang melalaikan shalat dan menghardik anak yatim. Dalam logika, kata “dan” berarti bukan salah satu, tapi keseluruhan. Jika hanya salah satunya terpenuhi maka tidak dapat digolongkan yang “tidak mendustakan agama”. Belum lagi puluhan bahkan mungkin ratusan ayat lain yang berbicara tentang kepedulian sosial. Atau ayat lain yang berbicara kebersamaan, keadilan dan penyeruan untuk melawan penghambaan selain Tuhan. Agama mengajarkan untuk memperbaiki hubungan vertikal kita (hablum minallah) dan hubungan horizontal kita (hablum minannas)

Lantas, dari dua pendekatan diatas apa hubungannya dengan judul tulisan ini ? Jawabannya sederhana. Jawaban dalam bentuk pertanyaan. Dimana Tuhan ketika kemiskinan terstruktur terjadi ? Dimana Tuhan ketika buruh ditindas dengan upah yang rendah. Dimana Tuhan ketika anak usia sekolah yang seharusnya sekolah tapi mereka harus jadi pemulung untuk makan. Dimana Tuhan ketika ketidakadilan dan mandulnya hukum terjadi. Dimana tuhan ketika hak-hak mendapat pengajaran terenggut oleh biaya pendidikan yang mahal. Dimana Tuhan ketika dana yang ditarik dari rakyat, dicuri oleh orang berdasi. Dimana Tuhan ketika tanah rakyat dirampas atas nama pembangunan. Dimana Tuhan ketika kelaparan melanda orang yang bertetangga dengan rumah bertingkat lima dengan mobil tiga. Dimana Tuhan ketika pengemis mencari sesuap nasi di halaman hotel berbintang lima.

Tuhan sekarang bukan lagi milik orang tertindas seperti Bilal, tapi milik penguasa. Tuhan tidak ditemui diantara fakir-miskin seperti dizaman dahulu, tapi terpenjara oleh tembok megah rumah ibadah. Tuhan tidak lagi milik para pencari Tuhan, tapi milik segelintir orang yang dianggap alim. Tuhan tidak lagi milik umat, tapi milik para politisi yang berebut kekuasaan. Tuhan tidak lagi milik umat, tapi milik sebagian ulama arogan yang suka mengkafirkan orang yang tidak semazhab dengan dia.

Tuhan telah terpenjara didada ulama arogan dan tidak menyentuh realitas, lalu menggunakan kata Tuhan” atas sejenisnya untuk mengingat surga-neraka dan melupakan kefakiran. Tuhan telah terbelenggu oleh retorika politisi, yang olehnya jalan menuju kursi kekuasaan akan menjadi lancar. Tuhan telah terjual oleh iklan-iklan dan label halal produk kaum pemilik modal, yang olehnya masyarakat mengkonsumsi produk tanpa ragu. Tuhan telah terkungkung oleh perdebatan filosofis para filosof, yang kemudian hanya berputar-putar dialam ide mereka tanpa membumikan pemahaman mereka pada realitas.

Kita tidak akan menemukan Tuhan disekolah, kampus atau kantor. Tuhan telah terpisah dari fakir miskin, anak terlantar, buruh. Tapi sekali lagi, Tuhan telah terpenjara dibalik tembok rumah peribadatan. Atas nama Tuhan, yang halal menjadi haram, pun sebaliknya. Atas nama Tuhan yang beriman menjadi kafir, pun sebaliknya. Atas nama Tuhan, seseorang bisa menjadi penguasa. Atas nama Tuhan dan takdir yang kaya tetap kaya dan yang miskin tetap miskin. Atas nama Tuhan, seseorang membunuh orang lain yang tentunya ciptaan Tuhan juga. Atas nama Tuhan, rumah peribadatan dibakar. Atas nama Tuhan, segala keinginan manusia entah baik atau buruk akan terjadi.

Sekarang terserah kita. Apakah rela melihat keterpenjaraan, keterbelengguan dan keterkungkungan Tuhan oleh orang-orang yang mengaku beragama. Atau kita membebaskan Tuhan dan mengembalikan Tuhan pada pemiliknya, yaitu orang-orang merasakan ketidakadilan, kemiskinan dan penindasan sebagai wujud pemaksaan penghambaan pada selain Tuhan ?

MAAF TUHAN, AKU MEMILIH PERCAYA PERASAANKU

UNTUK APA ADA TUHAN?

Bagi sebagian orang, iman memang sulit dipadukan dengan akal pikiran. Bahkan dulu, pemikiran-pemikiran yang nyeleneh di mata pemuka agama = setan/kafir.
Dulu terhadap pemikir-pemikir yang ide, gagasan, pendapatnya dinilai bertentangan dengan ajaran agama, hukumannya adalah mati. Digantung, bakar, penggal dst..
Akibatnya agama menjadi momok menakutkan bagi siapa saja. Pemuka agama menjadi pemilik kebenaran absolut dan tunggal
Para penguasa seperti raja-raja, tuan tanah (lord), bangsawan, kaisar dst.. tetap harus tunduk pada pemuka agama. Sebagai legitimasi kekuasaan.
Kekuasaan absolut yg dimiliki tuhan melalui ajaran agama sesuai yang tertulis di kitab-kitab suci dipegang sepenuhnya oleh pemuka agama.
Saat kezaliman terjadi akibat penyimpangan pemuka agama yang tentu harus diamini penguasa, rakyat kecil pun jadi sangat menderita. Sengsara
Ratusan tahun rakyat kecil di berbagai belahan dunia terzalimi oleh penguasa dan ulama atas nama agama. Rakyat bertanya-tanya : Dimana tuhan?
Tuhan absen ketika rakyat butuh bantuannya. Tuhan tak ada ketika rakyat menderita. Tuhan tidak bisa membantu. Tdk bisa kasih keadilan
Tuhan tidak bisa menyelamatkan. Tuhan tidak bisa kasih makan. Gandum, padi, kentang yg dimakan tikus dan hama pun tuhan tak mau cegah.
Jutaan rakyat kecil dibantai penguasa, dijadikan budak dan barang dagangan, diperkosa, disiksa, dijadikan mainan. Tuhan cuek saja.
Akhirnya rakyat tertindas dan sebagaian yg msh ‘waras’ atau ‘normal’ otaknya yakin seyakinnya, bahwa tuhan itu sebenarnya tidak ada. Fiktif
Kalau pun tuhan ada, tuhan itu hanya milik orang kaya, bangswan, raja dan ulama. Bukan tuhan milik rakyat tertindas.
Kalaupun tuhan ada, tuhan itu hanya berpihak pada mereka. Bukan tuhan kami. Jutaan doa dipanjatkan dengan tangis dan kesungguhan sedalam lautan.
Tapi tuhan tetap diam saja. Jangankan mengabulnya. Menjawab doa dan jeritan hati rakyat jelata pun tuhan tidak bersedia
Orang yang bertuhan & orang tidak bertuhan, nasib, hidup, mati, masa depan, kesejahteraannya ditentukan oleh dirinya sendiri. Untuk apa tuhan?
Tidak ada jaminan sedkitpun orang yg bertuhan dpt hidup lebih baik drpd orang yg tidak bertuhan. Doa itu hasilkan apa2 kecuali lemahkan jiwa.